Hong Kong merupakan salah satu negara tujuan bagi TKW Indonesia. Atas undangan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hongkong, Ketua Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI), KH. Athian Ali mendapatkan kesempatan untuk menyimak kehidupan para TKW Hongkong saat Idul Fitri kemarin. “Warga negara Indonesia yang paling banyak di Hongkong itu memang TKW. Kebanyakan pembantu rumah tangga. Sebagian besar terpusat di Hongkong. Jumlahnya menurut Konsuler Jenderal mencapai 170 ribu orang,” kata Athian Ali kepada ROL, Senin (20/7).
Kiai Athian melanjutkan, secara finansial para TKW di Hongkong mendapatkan gaji lumayan. Gaji mereka standar dengan TKW dari Malaysia, Brunei, dan negara-negara lain.Tapi, menurutnya ada segi lain yang membutuhkan perhatian. Sejumlah TKW mengeluhkan kesulitan mendapat akses ibadah. Menurut Kiai Athian, peningkatan semangat keislaman sebagian TKW di Hongkong cukup terlihat. Kebanyakan mereka sudah berjilbab. Hanya saja, mereka menghadapi masalah untuk sholat. Majikan menyatakan tidak rela apabila ada dua Tuhan di rumah mereka. Akhirnya, para TKW ini dilarang shalat.
Athian menuturkan, sebagian TKW terpaksa mencuri-curi waktu untuk shalat, tapi itupun sulit. Yang paling bisa membuat mereka tenang adalah berpura-pura masuk WC, kemudian shalat di WC. Kiai Athian menegaskan, memang ini tidak berlaku untuk seluruh majikan. Adapula majikan yang membolehkan, tapi banyak TKW yang ia jumpai menuturkan kisah serupa. Menurutnya, hal yang sama juga terjadi saat TKW hendak menunaikan ibadah puasa. Ada sebagian majikan yang mengizinkan, tapi ada juga yang melarang dengan alasan takut si pembantu meninggal dunia.
Pasalnya, ungkanya, kalau TKW meninggal dunia, majikan akan berurusan panjang dengan pihak kepolisian. Ada berbagai hambatan yang harus dihadapi kebanyakan TKW di Hongkong yang sudah timbul kesadaran keislamannya. Tapi, mereka terus berusaha menjaga semangat ibadah di tengah berbagai kendala.“Saya sangat salut, bahkan saya katakan, ibadah kalian ini jauh lebih bernilai di sisi Allah karena untuk sholat saja kalian harus berjuang seperti itu. Sampai harus di WC,” kata Athian. Lebih lanjut, kata dia, para TKW itupun sempat menanyakan tentang sah atau tidaknya sholat di WC saat ia mengisi pengajian di sana.
Kiai Athian melanjutkan, secara finansial para TKW di Hongkong mendapatkan gaji lumayan. Gaji mereka standar dengan TKW dari Malaysia, Brunei, dan negara-negara lain.Tapi, menurutnya ada segi lain yang membutuhkan perhatian. Sejumlah TKW mengeluhkan kesulitan mendapat akses ibadah. Menurut Kiai Athian, peningkatan semangat keislaman sebagian TKW di Hongkong cukup terlihat. Kebanyakan mereka sudah berjilbab. Hanya saja, mereka menghadapi masalah untuk sholat. Majikan menyatakan tidak rela apabila ada dua Tuhan di rumah mereka. Akhirnya, para TKW ini dilarang shalat.
Athian menuturkan, sebagian TKW terpaksa mencuri-curi waktu untuk shalat, tapi itupun sulit. Yang paling bisa membuat mereka tenang adalah berpura-pura masuk WC, kemudian shalat di WC. Kiai Athian menegaskan, memang ini tidak berlaku untuk seluruh majikan. Adapula majikan yang membolehkan, tapi banyak TKW yang ia jumpai menuturkan kisah serupa. Menurutnya, hal yang sama juga terjadi saat TKW hendak menunaikan ibadah puasa. Ada sebagian majikan yang mengizinkan, tapi ada juga yang melarang dengan alasan takut si pembantu meninggal dunia.
Pasalnya, ungkanya, kalau TKW meninggal dunia, majikan akan berurusan panjang dengan pihak kepolisian. Ada berbagai hambatan yang harus dihadapi kebanyakan TKW di Hongkong yang sudah timbul kesadaran keislamannya. Tapi, mereka terus berusaha menjaga semangat ibadah di tengah berbagai kendala.“Saya sangat salut, bahkan saya katakan, ibadah kalian ini jauh lebih bernilai di sisi Allah karena untuk sholat saja kalian harus berjuang seperti itu. Sampai harus di WC,” kata Athian. Lebih lanjut, kata dia, para TKW itupun sempat menanyakan tentang sah atau tidaknya sholat di WC saat ia mengisi pengajian di sana.
Sumber : http://khazanah.republika.co.id
Hong Kong - Menyaksikan kehidupan buruh migran Indonesia di Hong Kong, seakan membalik kisah selama ini mengenai nasib para pahlawan devisa yang selalu di rundung pilu. Seakan tidak ada kisah lain selain penganiayaan, pembunuhan, atau pemerkosaan oleh para majikannya. Namun di wilayah China bekas jajahan Inggris ini, para buruh migran hidup makmur. Namun, di balik itu bukan berarti tidak ada masalah yang merundung mereka.
\\\"Di sini masalah yang dihadapi para buruh migran adalah lebih kepada pribadinya, jarang ada masalah antara buruh dan majikannya,\\\" kata Abdul Razak, jurnalis asal Indonesia yang sudah menetap dua tahun di Hong Kong, saat berbincang dengan detikcom, awal pekan ini.Razak memperkirakan, hal tersebut muncul karena faktor gegar budaya (culture shock) yang dihadapi beberapa buruh migran. Maklum saja, Hong Kong kota besar dengan gaya hidup yang bergelimang fashion dan gadget.
Tapi, tidak semua buruh migran Indonesia di Hong Kong hidup bergelimang harta dan kerap mengikuti tren fashion di sana. Tetap ada diantara mereka yang membuat perkumpulan untuk berkreasi, bahkan mencari tambahan modal untuk bekal pulang kampung kelak.Di Hong Kong, hak buruh migran wajib dipenuhi oleh setiap majikan yang menggunakan jasanya. Sebut saja hak kaum buruh di sana yang mendapatkan jatah untuk libur sehari dalam setiap minggu. Kalau pun tetap bekerja, para majikannya wajib untuk membayarkan uang lembur sebagai pengganti hari libur.
Bila para buruh migran tersebut tidak diberikan makan, sang majikan pun wajib hukumnya untuk menggantikan uang makan pekerjanya. Lalu, bagaimana dengan gaji per bulan yang mereka terima?\\\"Pemerintah di sini menetapkan standar upah bagi pendatang minimal HK$ 3.920-an, Lebih itu terserah majikan masing-masing,\\\" kata Razak. Jumlah tersebut adalah nilai bersih yang diterima, bila di rupiahkan mereka mendapatkan upah sebesar Rp 5 juta setiap bulannya. Belum termasuk uang makan atau lembur.
Detikcom mencoba melongok kehidupan para buruh migran Indonesia yang memiliki rutinitas khusus setiap akhir pekan Sabtu dan Minggu di Victoria Park. Sebuah taman yang berada di kawasan Causebay yang selalu dipadati ribuan buruh migran. Dua hari itu merupakan hari yang paling banyak diambil untuk berlibur dalam setiap minggu oleh para buruh. Tidak hanya dari Causebay saja, buruh migran yang datang ke Victoria Park juga datang dari berbagai penjuru Hong Kong. Sekadar bersenda gurau, melepas rindu sebangsa, bahkan berjualan gorengan sampai soto dan nasi rawon.
Decak kagum ketika kaki melangkah memasuki Victoria Park. Ribuan buruh berkumpul di taman ini. Beberapa asyik dengan obrolan diantara kelompoknya, beberapa menikmati makan siangnya. Tidak sedikit pula mereka yang terlihat mengutak-atik dan bermain dengan gadget android keluaran terbaru merek ternama. Tapi, ada yang lebih mengejutkan lagi, pasangan sesama jenis yang asyik bercengkerama di pinggiran taman, sepertinya, tidak ada malu-malu atau bersembunyi dari sikap romantis para pasangan tersebut. Terlebih di Minggu sore dimana para buruh migran akan berpisah sementara waktu menunggu akhir pekan berikutnya.
\\\"Minggu sore akan menjadi hari yang panjang untuk tidak bertemu beberapa hari ke depan,\\\" kata Razak.
Para buruh migran ini mulai memadati Victoria Park sejak pukul 09.00 waktu setempat. Tidak ada penjelasan pasti mengapa taman cantik ini dijadikan titik kumpul para buruh migran. \\\"Karena kebanyakan kami bekerja tidak jauh dari sini, tapi ada juga yang jauh menyempatkan melepas rindu dengan sesama buruh migran di sini,\\\" kata salah seorang buruh migran, Luluk, Minggu sore.Memang, lokasi ini tidak begitu jauh dari pusat belanja di Causebay dan juga sarana transportasi publik. Selain itu kantor Konsulat Jenderal RI berada hanya dua blok dari titik kumpul buruh migran. Taman akan kembali lengang sekitar pukul 18.00-19.00 waktu setempat. satu persatu buruh migran kembali ke rumah-rumah yang menaungi mereka bekerja, bersia untuk menghadapi rutinitas sehari-harinya.
\\\"Di sini masalah yang dihadapi para buruh migran adalah lebih kepada pribadinya, jarang ada masalah antara buruh dan majikannya,\\\" kata Abdul Razak, jurnalis asal Indonesia yang sudah menetap dua tahun di Hong Kong, saat berbincang dengan detikcom, awal pekan ini.Razak memperkirakan, hal tersebut muncul karena faktor gegar budaya (culture shock) yang dihadapi beberapa buruh migran. Maklum saja, Hong Kong kota besar dengan gaya hidup yang bergelimang fashion dan gadget.
Tapi, tidak semua buruh migran Indonesia di Hong Kong hidup bergelimang harta dan kerap mengikuti tren fashion di sana. Tetap ada diantara mereka yang membuat perkumpulan untuk berkreasi, bahkan mencari tambahan modal untuk bekal pulang kampung kelak.Di Hong Kong, hak buruh migran wajib dipenuhi oleh setiap majikan yang menggunakan jasanya. Sebut saja hak kaum buruh di sana yang mendapatkan jatah untuk libur sehari dalam setiap minggu. Kalau pun tetap bekerja, para majikannya wajib untuk membayarkan uang lembur sebagai pengganti hari libur.
Bila para buruh migran tersebut tidak diberikan makan, sang majikan pun wajib hukumnya untuk menggantikan uang makan pekerjanya. Lalu, bagaimana dengan gaji per bulan yang mereka terima?\\\"Pemerintah di sini menetapkan standar upah bagi pendatang minimal HK$ 3.920-an, Lebih itu terserah majikan masing-masing,\\\" kata Razak. Jumlah tersebut adalah nilai bersih yang diterima, bila di rupiahkan mereka mendapatkan upah sebesar Rp 5 juta setiap bulannya. Belum termasuk uang makan atau lembur.
Detikcom mencoba melongok kehidupan para buruh migran Indonesia yang memiliki rutinitas khusus setiap akhir pekan Sabtu dan Minggu di Victoria Park. Sebuah taman yang berada di kawasan Causebay yang selalu dipadati ribuan buruh migran. Dua hari itu merupakan hari yang paling banyak diambil untuk berlibur dalam setiap minggu oleh para buruh. Tidak hanya dari Causebay saja, buruh migran yang datang ke Victoria Park juga datang dari berbagai penjuru Hong Kong. Sekadar bersenda gurau, melepas rindu sebangsa, bahkan berjualan gorengan sampai soto dan nasi rawon.
Decak kagum ketika kaki melangkah memasuki Victoria Park. Ribuan buruh berkumpul di taman ini. Beberapa asyik dengan obrolan diantara kelompoknya, beberapa menikmati makan siangnya. Tidak sedikit pula mereka yang terlihat mengutak-atik dan bermain dengan gadget android keluaran terbaru merek ternama. Tapi, ada yang lebih mengejutkan lagi, pasangan sesama jenis yang asyik bercengkerama di pinggiran taman, sepertinya, tidak ada malu-malu atau bersembunyi dari sikap romantis para pasangan tersebut. Terlebih di Minggu sore dimana para buruh migran akan berpisah sementara waktu menunggu akhir pekan berikutnya.
\\\"Minggu sore akan menjadi hari yang panjang untuk tidak bertemu beberapa hari ke depan,\\\" kata Razak.
Para buruh migran ini mulai memadati Victoria Park sejak pukul 09.00 waktu setempat. Tidak ada penjelasan pasti mengapa taman cantik ini dijadikan titik kumpul para buruh migran. \\\"Karena kebanyakan kami bekerja tidak jauh dari sini, tapi ada juga yang jauh menyempatkan melepas rindu dengan sesama buruh migran di sini,\\\" kata salah seorang buruh migran, Luluk, Minggu sore.Memang, lokasi ini tidak begitu jauh dari pusat belanja di Causebay dan juga sarana transportasi publik. Selain itu kantor Konsulat Jenderal RI berada hanya dua blok dari titik kumpul buruh migran. Taman akan kembali lengang sekitar pukul 18.00-19.00 waktu setempat. satu persatu buruh migran kembali ke rumah-rumah yang menaungi mereka bekerja, bersia untuk menghadapi rutinitas sehari-harinya.
Sumber : http://news.detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar