Sabtu, 16 Januari 2016

BMI dan Likaliku Mereka

Kasus pembunuhan yang terjadi di Hong Kong yang terkuak pada Sabtu, 1 November 2014 sangat menyita perhatian publik baik Hong Kong maupun Indonesia. Pembunuhan ini terbilang sadis karena korbannya 2 orang perempuan, dibunuh dengan cara menggorok leher korban dan bagian tubuh lainnya bahkan satu korban dimutilasi dan dimasukkan ke koper. Di banyak media keduanya disebut sebagai PSK dan banyak media di tanah air yang menggunakan kata "PSK" sebagai judul berita.Mungkin tulisan ini subjektif, saya hanya ingin menggambarkan tentang kehidupan BMI di Hong Kong yang kebetulan saya menjadi bagian di dalamnya selama hampir 10 tahun.
Hong Kong yang memiliki jumlah penduduk sekitar 7 juta diberitakan sebagai kota dengan tingkat kejahatan paling rendah di dunia dan tingkat keamanan yang sangat baik. Saya mengakui bahwa Hong Kong adalah tempat yang aman apalagi bagi kaum perempuan. Tak ada rasa takut bakalan dijambret atau kena palak saat malam hari berjalan menyusuri jalanan dengan pencahayaan lampu yang menerangi di hampir semua sudut Hong Kong.Data kedua korban telah diyakini sebagai WNI, tentu ini menjadi berita duka bagi kita semuanya. Masih jelas dalam ingatan kita kasus mutilasi yang menimpa Mayang yang terjadi Australia, kini harus menyusul 2 korban serupa dengan pelaku Bule asal Inggris.

Karena kebanyakan WNI yang berada Hong Kong adalah para wanita pekerja rumah tangga, mau tidak mau dan seolah otomatis tuduhan bahwa perempuan Indonesia di Hong Kong memiliki pekerjaan sampingan sebagai pemuas nafsu atau PSK pun begitu gencar. Setitik nila rusak susu sebelanga, begitulah peribahasa yang tepat sebagai gambarannya. Apalagi kebetulan kedua pernah menjadi PRT di Hong Kong yang seolah ikut meng-amini tentang berita yang tersebar.TKI/ TKW atau di Hong Kong lebih familiar dengan sebutan BMI mayoritas adalah perempuan dengan jumlah 140.000 lebih tersebar di hampir semua distrik yang ada di Hong Kong. BMI memiliki hak libur setiap Minggu dan hari libur nasional lainnya. Saat libur, BMI bebas menghabiskan waktunya di luar rumah sampai batas waktu dimana dia harus kembali ke rumah majikan, biasanya keluar rumah pagi dan pulang jam 9 malam, tergantung kesepakatan dengan majikan.

Kawasan Wan Chai sendiri memang terkenal dengan kerlap-kerlip dunia malamnya. Saat Minggu, bisa dilihat di emperan diskotik para wanita dengan berbagai etnis, sekali lagi, berbagai macam etnis dan dari berbagai negara, duduk-duduk di sana bercengkrama dengan orang-orang semeja.Lalu, apakah kebanyakan BMI yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga ini doyan nongkrong di sini? Saya akan menjawab memang ada yang suka menghabiskan waktunya di sini tetapi lebih banyak yang tidak suka bahkan sama sekali tidak kenal dengan tempat beginian.

Apa benar BMI doyan sama bule? Memang ada BMI yang menjalin hubungan dengan pria bule, pria dari India, Pakistan, Banglades atau dengan laki-laki Hong Kong, yang menikah pun ada, tetapi tentu tidak bisa dipukul rata kalau para BMI suka mencari pelampiasan dengan menjalin hubungan dengan pria saat bekerja di Hong Kong. Atau dipukul rata semuanya bahwa BMI di Hong Kong memiliki pekerjaan sampingan sebagai PSK selain bekerja di rumah majikan.

BMI dan pekerja dari Filipina yang awalnya bekerja menjadi PRT lalu akhirnya overstay juga banyak. Alasannya pun bermacam-macam. Ada yang mendapat perlakuan buruk dari majikan lalu dia memilih kabur tanpa membawa apa-apa saat keluar rumah. Paspor dan kontrak kerja ditahan agen atau disimpan majikan. Saat BMI kabur dari majikan atau BMI diinterminit oleh majikan, mereka hanya mempunyai waktu 14 hari untuk mencari majikan baru. Kalau nasibnya baik, mereka akan dengan mudah mendapatkan majikan, namun tak sedikit juga yang sampai batas waktu 14 hari ini belum mendapatkan majikan lalu akhirnya memilih untuk overstay karena aturan imigrasi mereka tidak bisa perpanjang visa

Menjadi overstay di Hong Kong itu sangat bahaya dan sangat dilarang. Harus pandai-pandai berakting kalau ingin lolos dari incaran yang sewaktu-waktu datang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Para overstay ini biasanya memilih bekerja saat sore atau malam hari. Ada yang menjadi pencuci piring di restoran, ada yang menjadi penata barang ada juga yang memilih bekerja di diskotik. Di sisi lain, orang yang overstay memiliki gaji yang lebih tinggi dibanding dengan BMI yang bekerja di rumah majikan, tapi perlu diingat bahwa resiko yang mengancam mereka juga sangatlah tinggi.

Terlepas dari kesedihan yang begitu dalam kami rasakan atas kematian kedua korban, BMI Hong Kong juga dibuat geram oleh pemberitaan media-media di Indonesia yang lebih banyak menyoroti sensasi dengan bumbu-bumbu berbagai macam rasa daripada memberitakan esensi dari kasus yang menimpa korban. Bahkan ada media yang selalu menyebut kedua korban adalah PSK. Ada lagi media yang memberi judul "Banyak TKW di Hong Kong Bekerja sebagai PSK" dengan sumber "katanya". Apakah mereka punya data seberapa banyak TKW yang menjadi PSK? pasti tidak. Kondisi yang diberitakan seolah-olah menyamaratakan bahwa BMI di Hong Kong bekerja sampingan dengan menjadi PSK untuk mencari tambahan uang.

Lihatlah bagaimana para BMI ini saat Minggu menikmati liburan di Victoria Park dengan berbagai macam kegiatan yang positif. Yang jualan makanan untuk mencari tambahan uang juga tak sedikit dengan resiko kalau ketahuan dagangannya diangkut ke kantor polisi. Pekerjaan sampingan ini lebih halal dan mereka sangat tahu resikonya, tetapi demi keluarga di rumah, mereka rela kucing-kucingan dengan polisi. Atau lihatlah sekumpulan BMI yang mengadakan pengajian bersama setiap Minggu, atau membuka perpustakaan gratis dengan buku-buku berbagai macam genre dari penulis-penulis tanah air. Jangan lupa, banyak pula BMI yang meneruskan pendidikan ke tingkat SMP atau SMA bahkan Sarjana dengan memanfaatkan libur Minggu mereka untuk belajar.

Terlepas keduanya benar atau tidak sebagai PSK yang terbunuh di Hong Kong, mereka tetaplah sebagai WNI yang memiliki hak untuk dilindungi dan kita tentu sangat sedih dengan kejadian ini. Dan yang perlu menjadi catatan bersama adalah bahwa tidak semuanya TKW di Hong Kong punya pekerjaan sampingan. Yakinlah bahwa BMI yang baik dan tetap berada di jalan lurus dan tetap mengingat tujuan awal ke luar negeri untuk keluarga jumlahnya tetap jauh lebih banyak dibanding BMI yang menyimpang.

Sumber :http://www.feranuraini.com

Seorang aktivis buruh migran Indonesia di Hong Kong mengatakan, banyak tenaga kerja perempuan Indonesia yang menetap dan bekerja secara ilegal di Hong Kong baik karena kehabisan masa berlaku visa kerja atau sengaja menyalahgunakan visa, seperti memasuki

Menurut aktivis buruh migran dari salah satu kabupaten di Jawa Timur itu, jumlah TKI di Hong Kong sekitar 165 ribu orang dan jumlah buruh migran Indonesia yang melebihi batas waktu tinggal (overstay) kira-kira lima-enam kali lebih banyak dari TKI pemegang recognition paper. Angka pastinya sulit diketahui karena keberadaan mereka tersembunyi, main kucing-kucingan dengan aparat imigrasi dan kepolisian Hong Kong.“Kebanyakan TKW lebih suka jadi overstay ketimbang pegang recognition paper karena aslinya mereka tetap cinta negeri sendiri,” kata sang aktivis lewat percakapan jejaring sosial dengan Tempo pada Rabu, 25 Juni 2015.

Sebagian TKI perempuan malah terpaksa rela dinikahi pria uzur agar bisa menetap permanen sebagai penduduk Hong Kong dan dengan begitu mereka bisa bekerja di restoran, toko, pabrik, dan lainnya.Setelah menikah, pasangan tersebut mengajukan rekomendasi ketidakmampuan ke pemerintah setempat. Bila disetujui, mereka dapat menyewa rumah susun murah dari Hong Kong Housing Society, terus dapat jatah masyarakat miskin dari pemerintah lantaran suami sudah tua dan tidak bekerja.
Namun, sang aktivis melanjutkan, overstay dan recognition paper merupakan dua dari sekian banyak masalah yang dihadapi TKI di Hong Kong. Dia menegaskan seluruh persoalan yang dihadapi buruh migran Indonesia di Hong Kong dan negara lain yang jadi tujuan TKI sangat dilematis.“Semua itu takkan terjadi jika pemerintah bener-bener melindungi kami. Kami yang tahu betul perlakuan pemerintah terhadap kami. Dalam banyak kasus, pemerintah bukan melindungi, tapi malah menjadikan kami sebagai komoditas,” kata dia.

Sebelumnya, Staf Konsulat Jenderal Indonesia di Hong Kong, Agustav Illias, mengatakan, setelah overstay banyak TKI bersiasat mendapatkan recognition paper, semacam surat izin tinggal sementara pengganti paspor yang diterbitkan Departemen Imigrasi Hong Kong, dengan cara mengajukan diri sebagai pengungsi. Pemberian recognition paper harus melalui keputusan pengadilan setempat.Pengajuan recognition paper mensyaratkan TKI untuk menyerahkan paspor secara sadar dan sengaja ke pemerintah Hong Kong. Recognition paper merupakan celah hukum yang biasanya ditempuh buruh migran asing di Hong Kong.“Pemegang recognition paper mengharapkan negara ketiga untuk menampung mereka. Dengan pengakuan recognition paper, sebenarnya mereka sudah jadi warga negara Hong Kong,” kata Agustaf di Malang pada Rabu dinihari, 24 Juni 2015.

Sumber : http://nasional.tempo.co

Tidak ada komentar:

Posting Komentar